Background

Poleng - Hitam Putih

Kain Poleng (kain bermotif kotak dengan warna hitam-putih) sudah menjadi bagian dari masyarakat Hindu di Bali,bahkan tidak berlebihan kalau diidentikan sebagai “warna khas Bali”. 

Dengan mudah kain bermotif ini ditemui hampir disetiap per-empatan, pohon besar, gerbang pura bahkan dipakai pula sebagai kain (jarig) penari kecak dan para pengawal/petugas keamanan tradisional (pecalang).

Kain poleng sudah menjadi bagian  kehidupan religius umat Hindu di Bali, baik sakral maupun profan. Di pura, kain poleng digunakan untuk tedung (payung), umbul-umbul, untuk menghias palinggih, patung, dan kul-kul.Tidak hanya benda sakral, pohon di pura pun banyak dililit kain poleng.

Kain poleng juga banyak digunakan untuk menghias benda-benda profan baik di perkantoran maupun di hotel. Misalnya untuk meja makan dan benda-benda lain yang ada di sana. Namun kain poleng untuk benda profan ini sering dicampuri dengan corak atau motif baru sehingga disebut kain poleng anyar.

Tidak ketinggalan dalam kesenian Bali, baik itu seni drama, dramatari, maupun pedalangan. Dalam drama gong, yang sering memakai kain pleng adalah penakawannya. Sedangkan dalam wayang kulit, tokoh yang memakai hiasan poleng, selain penakawan Tualen danMerdah, juga tokoh penting seperti Hanoman, Bima.


Apa sebenarnya makna,peran dan filosofis kain poleng dalam kehidupan umat Hindu?
Bentuk saput poleng ternyata beraneka ragam. Misalnya dari segi warna, ukurannya, hiasannya,hiasan tepinya, bahan kainnya, dan ukuran kotak-kotaknya.Berdasarkan warnanya, ada kain poleng yang disebut rwabhineda (hitam dan putih), sudhamala (putih, abu-abu, hitam),dan tridatu (putih, hitam, merah). Dilihat dari segi ukuran kotaknya pun berbeda.  

Kain Poleng dalam budaya Bali merupakan pencetusan ekspresi penghayatan konsep Rwa Bhineda, suatu konsep keseimbangan antara baik dan buruk, yang menjadi intisari ajaran tantrik (tantrayana).

Diharapkan dengan menjaga kesimbangan antara kebaikan dan keburukan dapat menciptakan kesejahteran dalam kehidupan.

Setelah itu barulah muncul kain poleng sudhamala dan tridatu. 


Kehadiran kain poleng sudhamala dan tridatu berdasarkan perkembangannya warna ini juga mencerminkan tingkat pemikiran manusia, yakni dari tingkat sederhana menuju perkembangan yang lebih sempurna. 


Makna filosofis saput poleng rwabhineda adalah rwabhineda itu sendiri. Menurut faham Hindu, rwabhineda itu adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, utara-selatan, panjang-pendek, tinggi-rendah, dan sebagainya.

Kain Poleng Sudhamala dan Tridatu
Saput poleng sudhamala merupakan cerminan rwabhineda yang diketengahi oleh perantara sebagai penyelaras perbedaan dalam rwabhineda. Sedangkan saput poleng sudhamala merupakan cerminan rwabhineda yang diketengahi oleh perantara sebagai penyelaras perbedaan dalam rwabhineda.

Kain Poleng Tridatu melambangkan ajaran Triguna yakni satwam, rajah, tamah. Warna putih identik dengan kesadaran atau kebijaksanaan (satwam), warna merah adalah energi atau gerak (rajah) dan warna hitam melambangkan penghambat (tamah).

Jika dikaitkan dengan kepercayaan Hindu.Dewa Tri Murti,warna merah melambangkan Dewa Brahma sebagai pencipta, warna hitam lambang Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan warna putih melambangkan Dewa Siwa sebagai pelebur. Dewa Tri Murti ini terkait dengan kehidupan lahir, hidup dan mati.
 

Kain Poleng yang seakan-akan sudah menjadi busana seragam bagi pecalang (petugas keamanan desa adat) juga terilhami oleh konsep ini, dimana seorang yang dipercayai oleh warga untuk menjadi “pengaman” hendaknya mampu dengan tegas memilah yang benar dan buruk

Diharapkan pecalang bercermin pada saput poleng yang dikenakan, yakni mengetahui adanya rwabhineda, keadaan aman dan kacau, baik maupun buruk, yang selanjutkan melalui kedewasaan intelektual dan kesigapannya (celang), dapat mengendalikan situasi sehingga ketertitaban Desa Pekraman dapat diwujudkan.


Sedangkan kain Poleng yang diikatan pada pohon-pohon besar atau juga tempat yang dianggap tenget (angker) dimaksudkan untuk memberikan tanda bahwa pada lokasi tersebut tinggal ditempatkan/stana energi “roh”para bhuta/penunggu karang. Kesakralan lokasi ini akan dijaga oleh warga setempat dengan memberikan “sesaji” secara rutin setelah mereka menghaturkan puja di pura.

Categories: Share

Leave a Reply